Senin, 16 Februari 2009

Pacu Kembali Semangat Berprestasi


Career Tips Mon, 27 Jun 2005 09:07:00 WIB

Prestasi merupakan ukuran keberhasilan. Di balik itu, hal yang penting sebagai landasan ialah adanya kebutuhan untuk berprestasi. Bagaimana mengembangkan kebutuhan untuk berprestasi?



Orangtua tersenyum bangga ketika menerima rapor anaknya dan mengetahui sang buah hati menduduki peringkat atas. Kebanyakan di antara mereka juga bersemangat menjuarai berbagai lomba. Sementara itu, orangtua lain mengeluh rapor anaknya jelek. Anak mereka umumnya malas dan tidak memiliki daya juang atau keinginan meraih prestasi tinggi. Mereka merasa cukup dengan nilai sedang-sedang saja atau minimalis.



Di kantor pun keadaannya begitu. Ada karyawan yang memiliki semangat tinggi untuk belajar ini itu, menekuni tugas ini itu dengan penuh rasa tanggung jawab, demi meningkatkan prestasi kerjanya. Di sisi lain, ada pula karyawan sampai didorong begini begitu pun tetap jalan di tempat, bahkan kalau ada teman-temannya yang memiliki semangat berprestasi tinggi. Mengapa demikian?



Banyak faktor yang mempengaruhi tinggi atau rendahnya prestasi. faktor-faktor tersebut dapat berasal dari diri sendiri atau dari luar diri. Faktor yang berasal dari diri sendiri antara lain kesehatan, tingkat kecerdasan, ketekunan, dan kebutuhan untuk berprestasi. Faktor yang berasal dari luar diri diri antara lain cara guru mengajar atau cara atasan memimpin, suasana lingkungan, fasilitas dan sebagainya.



Perilaku manusia selalu timbul karena adanya "kebutuhan yang mendorong perbuatan ke arah suatu tujuan tertentu." Kebutuhan yang mendorong perbuatan ke arah suatu tujuan tertentu disebut motivasi. Seorang anak yang ingin pandai matematika, kebutuhannya menjadi pandai dalam bidang ini akan mendorongnya untuk belajar sungguh-sungguh hingga mendapatkan nilai bagus. Anak ini dikatakan memiliki motivasi tinggi untuk menjadi pandai dalam bidang matematika.



Sebaliknya, karyawan yang tak ingin berbahasa Inggris dengan baik tidak memiliki kebutuhan untuk berbahasa Inggris dengan baik. Akibatnya, sekalipun diikutkan kursus di tempat paling bagus, ia tidak memiliki semangat atau kemauan keras untuk belajar bahasa Inggris. Ia memiliki motivasi rendah untuk dapat berbahasa Inggris dengan baik. Perilaku yang muncul adalah malas atau tidak sungguh-sungguh mengikuti pelajaran bahasa Inggris.



Ada kebutuhan

David McClelland dalam bukunya Human Motivation, menyatakan, ada tiga tipe kebutuhan motivasional :

    Kebutuhan untuk Berprestasi (Need For Achievement - n-ach) Orang dengan n-ach tinggi kebutuhan untuk berprestasinya tinggi. Ia ingin mencari prestasi, unggul, dan menyukai tantangan yang realistis.

  • Kebutuhan untuk Berkuasa (Need For Power/Authority - n-pow).

    Orang dengan n-pow tinggi oebutuhan untuk berkuasanya tinggi. Ia ingin mencari pengaruh, efektif, dan disegani.

  • Kebutuhan untuk Pertemuan (Need for Affiliation - n-aff).

    Orang dengan n-aff tinggi kebutuhan untuk membangun hubungan pertemanan atau persahabatannya tinggi. Ia termotivasi untuk selalu berinteraksi dengan banyak orang.


Tiga kebutuhan motivasional it udapat ditemui pada setiap orang dengan tingkat berbeda. Kombinasi dari tiga kebutuhan itu mempengaruhi gaya dan perilaku seseorang.



Anak-anak dengan kebutuhan untuk berprestasi tinggi akan tampak dari keinginannya untuk selalu unggul di antara teman sebayanya. Mereka umumnya juga menyukai kegiatan lain yang sifatnya menantang, seperti mengikuti kompetisi sesuai dengan yang diminatinya.



Yang Mempengaruhi

Seorang peneliti, Cortez (1972), menyatakan bahwa ada pengaruh keturunan terhadap tinggi-rendah-nya kebutuhan untuk berprestasi (n-ach) anak. Dalam penelitiannya, Cortez menemukan bahwa anak laki-laki yang mesomophic (memiliki fisik dengan pertumbuhan otot-otot yang bagus) secara meyakinkan memiliki skor n-ach (dan n-pow) lebih tinggi daripada anak laki-laki yang lain.



Anak-anak dengan pertumbuhan otot yang baik mampu menunjukkan aktivitas dan keterampilan motorik yang lebih baik. Mereka sering mendapat perhatian dan pujian positif dari lingkungan. Akibatnya, mereka selalu ingin tampil baik. Situasi semacam ini meningkatkan kebutuhan untuk berprestasi.



Heckhausen (1967) setelah mengamati anak-anak yang sukses atau gagal dalam mengerjakan berbagai tugas menyatakan bahwa kebutuhan untuk berprestasi (n-ach) anak mulai tampak pada usia 3 sampai 3,5 tahun. Kesuksesan dan kegagalan anak-anak dalam mengerjalan tugas mempunyai hubungan langsung dengan perasaan senang atau kecewa, baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap gagal/suksesnya mengerjakan tugas tersebut.



Anak-anak yang sukses mengalami perasaan senang karena mampu menyelesaikan tugas. Sebaliknya, yang gagal mengalami perasaan malu karena tidak mampu menyelesaikan tugas yang diberikan. Pengalaman-pengalaman sukses dan perasaan senang anak dari tidak dapat menyelesaikannya, sangat membantu membangkitkan kemauan atau semangat anak dalam menghadapi tantangan baru untuk mendapatkan prestasi baru.



Peneliti lain, Lasker (1978), menemukan bahwa skor kebutuhan untuk berprestasi (n-ach) secara sangat meyakinkan berhubungan erat dengan tahap perkembangan ego seseorang. Lovinger (1976) dalam penelitiannya menemukan pada tahap awal perkembangan ego atau tahap impulsive dan self-protective, hampir menunjukkan tidak adanya n-ach. Pada tahap menengah atau self-protective dan conformist, memiliki skor n-ach moderat (menengah).



Pada tahap paling tinggi dalam level perkembangan ego atau conscientious, memiliki skor n-ach tinggi. Penelitian di atas menunjukkan bahwa skor n-ach bertambah sesuai dengan kematangan seseorang. David McClelland juga menemukan bahwa orang dengan n-ach tinggi terbentuk karena pendidikan keluarga. Kebanyakan mereka pada usia 6 sampai 8 tahun sudah diajari mandiri, membuat pilihan, dan mengerjakan sesuatu bantuan orang lain.



Sebaliknya, orang yang memiliki n-ach rendah biasanya datang dari keluarga yang over-protected (terlalu melindungi) dan over discline (over disiplin). Akibatnya, mereka sangat tergantung pada orangtua dan merasa sangat sulit untuk melepaskannya agar dapat membuat keputusan sendiri. (M.N Nilam Widyarini, Dosen pada Program S1 dan S2 Psikologi, Universitas Gunadarma, Jakarta).

Sumber: Bisnis Indonesia

Statistic